Mengenal Buzzer | Pengertian, Analogi dan Gaji


Mengenal Buzzer, Pengertian Buzzer, Analogi Buzzer, Gaji Buzzer
FOTO: Mengenal Buzzer | Pengertian, Analogi dan Gaji


Mangunicybertroops - Musim politik akan segera berakhir, namun ada satu fenomena politik yang tidak akan pernah berakhir, Buzzer lah namanya. Seorang atau kelompok netizen yang dibayar atau bahkan sukarela untuk menggiring opini publik demi kepentingan pihak tertentu.

Selain kelakuan mereka yang menyebalkan di sosial media, terkadang opini yang bodohpun akan mereka berikan demi kepentingan pihak tertentu.

Jadi Apa Itu Sebenarnya Buzzer?

Secara tertulis, Buzzer adalah sebutan bagi orang-orang yang membicarakan suatu topik dengan maksud agar ramai diperbincangkan atau menjadi topik yang viral di kalangan masyarakat.

Dengan demikian dapat disimpulkan, Buzzer adalah sekelompok orang yang tugasnya adalah memanipulasi opini publik agar sebuah trend atau campaign yang dijalankannya itu bisa menjadi trend dan diperbincangkan secara luas.

Analogi Buzzer

Ini seperti memiliki bisnis. Namun agar bisnis anda laku atau setidaknya menjadi viral di era internet saat ini, Buzzer adalah pilihan yang tepat. Dengan membayar orang, mereka akan terus membuat konten video dan hal positif lainnya untuk bisnis anda, berkat tindakan Buzzer, bisnis anda laku dan menjadi viral.

Orang pada umumnya akan menganggap bisnis anda “sukses” karena "viral". Faktanya, di balik layar, segala sesuatu yang membuat bisnis anda viral adalah tindakan Buzzer yang anda bayar. Itulah gambaran kasar mengenai industri Buzzer. 

Awal Kemunculan Buzzer

Dimana pada awalnya menurut beberapa bacaan penulis. Awalnya kemunculan Buzzer bertepatan dengan hadirnya Twitter pada tahun 2009. Buzzer pertama kali digunakan sebagai strategi pemasaran untuk mempromosikan produk guna meningkatkan penjualan. Pada tahun 2012 keberadaan Buzzer telah beralih fungsi. Peralihan fungsi yang disebut-sebut sebagai agen penyiaran isu-isu politik dan agama justru dimulai pada Pilkada DKI Jakarta 2012 dan mencapai puncaknya pada Pilpres 2019.

Sebenarnya secara hukum “tidak salah” karena masih sebagai media periklanan. Namun industri Buzzer semakin sering “disalahgunakan”. Apalagi Buzzer ini ternyata sudah masuk radar para politisi, seperti contoh penerapannya sejak Pilkada Jakarta 2012 hingga puncaknya pada Pilpres 2019. Misi mereka tetap sama, yakni manipulasi.

Buzzer di setiap kubu, akan terus "memanipulasi pendapat" orang lain. Di Internet untuk mendapatkan dalam kasus ini "Dukungan Suara" pada pihak kubu tertentu. Lalu akhirnya semakin Dicari. Lambat laun, Buzzer semakin dicari. Dan semakin populer pada tahun 2014, ketika negara kita sedang mengadakan pemilihan presiden yang misinya tetap sama yaitu “manipulasi untuk kepentingan kubu tertentu”.

Tetapi masalahnya terletak pada cara Buzzer menggiring “opini publik”. Hal ini menjadi semakin tidak masuk akal seiring berjalannya waktu. Bukannya memberikan data dan fakta atau kejelasan alasan. Buzzer sekarang memberikan informasi yang ngawur, tidak jelas, menghina personal; bahkan menyebarkan HOAX.

Dan parahnya, cara ini bukan hanya untuk politik. Namun dalam dunia bisnis, tidak jarang sebuah perusahaan menyewa seorang Buzzer, untuk menyerang saingan bisnisnya dengan statement-statement yang ngawur tadi. Padahal secara Hukum, menyebarkan "Berita Palsu" dan hoax itu salah itu jatuhnya melanggar dan salah. 

Sampai saat ini, kita tidak tahu lagi berapa banyak Buzzer yang beredar di Internet. Dan pastinya akan terus ada di tahun-tahun mendatang. Baik untuk kepentingan “Bisnis” atau “Politik”.

Siapa Dibalik Para Buzzer?

Sedikit informasi, Buzzer sendiri umumnya adalah para mahasiswa yang paham dengan Tren Teknologi atau Internet, namun sayangnya kesulitan mencari pekerjaan tetap atau jika sudah memiliki pekerjaan tetap namun gajinya rendah, gajinya tidak menentu. Oleh karena itu, “Jasa Buzzer” ini merupakan pekerjaan alternatif yang dapat mereka terima, bahkan menjadi pekerjaan utama mereka.

Gaji Seorang Buzzer

Menurut penelitian berjudul "The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation." Dalam laporan ini disebutkan harga yang dibanderol para Buzzer. Di Indonesia penggunaan Buzzer bersifat kontrak temporer. Artinya gaji yang didapat juga sesuai dengan nilai kontrak yang disepakati. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bahwa Buzzer di Indonesia dipekerjakan dengan sistem kontrak temporer dengan nilai antara Rp. 1 juta sampai Rp 50 juta untuk satu campaign atau kontrak.

Bisa dibayangkan berapa biaya layanan ini pada tahun ini, bahkan mungkin tiga kali lipat atau mungkin melebihi 1 miliar, tergantung seberapa besar pengaruh orang yang menjadi buzzernya ini. 

Jadi tak aneh, banyak juga "Artis" ataupun "Selebgram", yang terkesan mencurigakan, karena memang nyatanya para influencer ini ada yang menjadi Buzzer tetapi berlindung dibalik kata "Endorse". 

Kesimpulan Buzzer

Memang tidak semua Buzzer melakukan manipulasi dengan serangan-serangan hoax tapi mau bagaimana lagi, nyatanya saat ini hampir semua Buzzer seperti itu, tentu saja korbannya semakin banyak. Ini adalah ironi dari strategi pemasaran yang disalahgunakan oleh politik dan justru mengubah cara pandang masyarakat terhadap strategi tersebut.

0 Komentar